KU MENUNGGUMU DI
AL-AKBAR
Karya: Fioni A.L
Malam ini dingin menyapa lagi namun
hari ini ia tak sendiri, ia menggandeng hujan-hujan kecil dan mengajaknya
bermain melompat lompat di atas perut bumi. Mata dan telingaku masih menikmati
panorama itu, suasana yang tak kudapati di hari-hari lelahku seminggu ini.
Ku tatap megahnya kubah Masjid Al
Akbar yang terlihat jelas dari jendela kamarku. Terbayang di anganku atas
sebuah janji yang pernah ku ukir . Bersamanya, di taman Al Akbar.
“Ran, aku jadi pergi besok.”
“Mas benar-benar akan ke Jakarta?
Hmmh, kenapa harus jauh sekali?”
“Iya, memang jauh. Aku gak enak
nolak tawaran pekerjaan itu. Apalagi aku memang sedang sangat membutuhkannya.”
“Ya, kalau itu memang udah jadi
pilihan Mas Fahmi, jalani aja. Ran pasti akan selalu doakan di sini.”
“Makasih ya Ran. Nanti kalau Mas
sudah sukses, Mas mau kasih hadiah buat Ran.”
“Hem? Hadiah? Kenapa gak sekarang
aja? kenapa harus tunggu sukses dulu? Emang hadiahnya mahal?” tanyaku
penasaran.
Kemudian
matanya menerawang ke arah masjid
“Iya, bahkan.. tak ternilai
harganya?”
“Apa?”
Dia
kembali memandangku sambil tersenyum.
“Biar
Al Akbar yang menjadi saksinya nanti dalam sebuah pertemuan suci antara dua
insan.”
Aku
tersenyum malu. Jantungku berdegup cepat, wajahku memerah.
“InsyaAllah.
Semoga Allah memberi jalan terindah buat kita. Aku akan menunggumu di Masjid Al
Akbar.”
Satu
tahun…
Dua
tahun…
Ah,
tak terasa sudah hampir empat tahun berlalu…
Selama
itu, hanya dunia maya penghubung antara kami.
Sudah tiga tahun terakhir ia jarang
pulang ke Surabaya. Bahkan di hari lebaran, ia hanya tinggal paling lama dua
hari saja. Terakhir ia pulang, karena ibundanya yang tiba-tiba jatuh sakit. Ia
menelponku dan minta maaf padaku sebab tak sempat menemuiku karena ia harus
buru-buru kembali ke Jakarta.
Tapi… makin lama… aku makin merasa
kehilangan dirinya. Sudah satu bulan terakhir ini aku sama sekali tak berinteraksi
dengannya. Handphone- sering tidak aktif, e-mailku tak dibalas. Aku tidak
mengerti. Apa yang membuatnya seperti itu. Ia tak pernah seperti ini
sebelumnya. Ia selalu terdengar ceria tiap kali menelponku, atau tiap kali aku
menelponnya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda dia marah padaku atau sedang ada
masalah. Apa jangan-jangan.. Tidak.. tidak.. Aku harus tetap positif thinking.
Mungkin akhir-akhir ini dia terlalu sibuk.
Ku buka laptopku yang sedari tadi
tertutup manis mengintaiku dari kejauhan. Aku cek lagi e-mailku mungkin untuk
yang ke sepuluh kalinya hari ini, berharap ada suatu keajaiban.
“Subhanallah!!!”
mataku terbelalak hampir saja aku melompat kegirangan. Ku lihat ada namanya di
daftar inboxku. Ya Allah, akhirnya..
“Salamu’alaikum
wr.wb.
Kirana.. Mas minta maaf karena baru
bisa balas e-mail kamu. Mas juga minta maaf karena tidak pernah menghubungi Ran
lagi. Alhamdulillah, keadaan Mas baik-baik aja. Ran, besok pagi Mas mau ketemu
sama kamu. Ada yang mau Mas katakan. Bisa kan? di Taman Flora dekat kampusmu,
jamnya kamu yang tentukan aja. Mas tunggu balasannya.
wassalamu’alaikum”
Jantungku berdebar debar, apa
kiranya yang ingin Mas Fahmi sampaikan? berbagai prasangka berkecamuk dalam
dada.
“wa’alaikumsalam.
Iya Mas, gak apa apa. Ran ngerti kalau mas sibuk sekali. Alhamdulillah, keadaan
Mas Fahmi baik-baik aja. Ran sempat khawatir terjadi apa apa sama Mas Fahmi. Ya
udah, besok kita ketemu jam 10 ya.”
Mas Fahmi terdiam menatapku, agak
lama. Terlihat ada mendung yang menutupi matanya yang teduh.
“Ada
apa Mas? Katanya ada yang mau disampaikan sama Ran?” Akhirnya aku pun memulai
pembicaraan.
“Ehmm…
Iya Ran.. Sebelumnya, Mas mnta maaf. Mas mau Ran dengerin Mas cerita sampai
selesai ya. Setelah itu terserah apa yang mau Ran lakukan ke mas Fahmi.”
“Silahkan,
Ran dengerin kok.”
“Ibu
Mas.. tiap kali Mas pulang selalu menyuruh Mas untuk cepat menikah agar Ibu
bisa melihat Mas di pelaminan.”
Deg!
Sejenak jantungku serasa berhenti berdetak.
“Mas
sudah berencana untuk segera mengenalkan Ran pada Ibu.”
Swiinggg!!
Rasanya ribuan bunga mekar seketika di dalam hatiku.
“Eeh, lalu?” Aku mulai tidak sabar.
“Tapi…”
“Tapi…?”
Mas Fahmi terdiam lagi. kali ini
agak lama dari sebelumnya. Ia menundukkan sejenak. Lalu menatapku lagi dengan
pandangan yang lebih sendu dari sebelumnya.
“T..tter.. ternyata… Ibu telah
menjodohkan Mas dan ingin sekali Mas menikah dengan gadis pilihan Ibu.” Katanya
lirih dan terbata-bata.
Jantungku benar-benar berhenti
sekarang! Nafasku mulai tak teratur, ribuan bunga yang tadinya mekar semerbak
bagaikan dijatuhi bom atom hingga luluh lantah tak bersisa.
“Mas ingin sekali menolaknya jika
saja Mas bisa. Mas sudah berusaha menjelaskan pada Ibu, kalau Mas sudah punya
pilihan lain bahkan Mas sempat bersitegang dengan Ibu. Tapi Ibu tetap tidak mau
tahu. Ibu malah sedih dan akhirnya jatuh sakit sampai-sampai terkena stroke.
Ibu terbaring lemah di rumah sakit, bahkan menolak untuk bertemu dengan Mas.
Ibu tidak punya semangat hidup lagi karena anak satu-satunya tidak mau
mewujudkan keinginannya. Mas tidak tega Ran. Akhirnya, seminggu yang lalu Mas
telah bertunangan dengan gadis itu.”
Aku terkejut! Aku tak bisa lagi
membendung air mataku yang mulai meluap dan tumpah.
“Kke.. Kenapa Mas baru cerita sama
Ran?” aku mulai terisak.
“Mas tidak tega Ran. Mas gak bisa
melihat kamu sedih dan menangis seperti ini. Mas takut melukai perasaan kamu.
Mas bingung harus bagaimana menyampaikan semua ini.”
Aku
berusaha membendung air mataku walau tak berhasil.
“Sss.. Sudahlah Mas.. Aku….”
“Maafin Mas ya Ran.”
Aku tidak bisa berkata lebih banyak
lagi, semakin aku melihatnya semakin aku ingin menjerit. Ulu hatiku bagai
tertusuk tusuk pedang tajam. Sakit! Aku segera berdiri dari tempat dudukku.
“Ran mau kemana?”
“Ran mau pulang Mas.
Wassalamu’alaikum.”
“Kirana…”
Cukup sudah! Aku ingin segera pergi.
Aku tak mau memperdulikan suaranya lagi.
Sudah dua hari ini hatiku nelangsa.
Hancur sudah semua harapan bahagiaku. Cuma dia laki-laki yang aku cintai dan
aku impikan tuk jadi imamku. Selama dalam masa penantianku. Menanti janji
manisnya untuk kami wujudkan berdua. Tapi apa balasan atas kesetiaanku? Kenapa
harus berakhir seperti ini Ya Allah.. Apa salah hamba? Salahkah semua kesetiaan
ini? Salahkah hamba mencintainya? salahkah hamba mengharapkannya? Salahkah
hamba menginginkan ia tuk jadi pendamping hamba di kemudian hari?
Hidupku bagai tak berharga lagi,
kemanapun aku pergi bayangan tentangnya selalu mengikuti. Tak ada lagi semangat
dalam hidupku. Aku bagai bunga yang kering menunggu mati.
Ku lihat tanggal di kalenderku, tak
lama lagi adalah hari wisuda. Ku kira hari itu kan jadi hari bahagiaku karena
ia pasti kan hadir dan memberiku selamat, lalu akan ku kenalkan pada kedua
orangtuaku sebagai calon pendamping hidupku. Namun itu semua tinggallah mimpi
yang kini telah musnah jadi asap.
Mama memelukku dengan erat, ku
ceritakan semuanya. Mama meyakinkan aku bahwa Allah telah mempersiapkan
seseorang yang seribu kali lebih baik dari Mas Fahmi untukku.
“Kamu
jangan kehilangan semangat seperti ini Nak.” Lanjut mama. “Allah selalu punya
rencana istimewa buat hamba-hambaNya yang istimewa, dan Kamulah salah satunya.
Percaya sama Allah, Sayang. Allah akan memberikan yang terbaik buat Kamu.
Mungkin ini ujian dari Allah, dan jangan lupa jika Allah menguji seorang
hambaNya berarti Allah sayang sama dia karena Allah ingin ia jadi lebih mulia.
Kamu yang sabar ya, yang ikhlas.”
Ya
Allah, mama benar. Aku harus bisa melanjutkan hidupku. Aku pun mulai tenang
dalam belaian hangat mama.
Akhirnya setahun sudah waktu
berlalu. semakin ku menapaki hari, semakin ku tahu bahwa tak sepantasnya ku
menyesali apa yang terjadi. Walaupun sampai saat ini, aku masih belum bisa
sepenuhnya melupakan Mas Fahmi. Sulit memang melupakan orang yang sangat kita
cintai. Tapi aku percaya, sesuatu yang sulit bukan berarti tak bisa untuk
dilakukan. Aku pasti bisa.
Papa mengenalkanku dengan anak dari
sahabat baiknya waktu sekolah dulu. Alfath namanya. Usianya empat tahun lebih
tua dariku, yah… sepantaran dengan Mas Fahmi. Dia pemuda yang baik dan santun,
dan insyaAllah punya pemahaman agama yang lumayan baik. Saat ia datang
melamarku, tak ada alasan bagiku untuk menolaknya.
“Dik Kirana, ingin akad nikah kita
nanti dilaksanakan dimana?” tanya Mas Alfath saat rapat keluarga untuk
mempersiapkan hari pernikahan kami.
“Di Masjid Al Akbar.” jawabku sambil
tersenyum.
Cahaya mentari pagi memotretku dari
kejauhan, mencuri pandang senyum manisku, menyambut hari bahagiaku. Sinar
hangatnya memelukku, memudarkan segala kenangan kelabu di masa lalu. Ku
pandangi diriku di cermin berbalut gamis pengantin berwarna putih bersih
lengkap dengan kerudung cantik membingkai wajahku, ada rasa bangga menggeliat
dalam hati.
Aku dan keluargaku berangkat menuju
Masjid Al Akbar. Disana, kami disambut para kerabat yang telah menunggu. Semua
mata tertuju padaku. Aku duduk bersanding dengan Mas Alfath yang terlihat
begitu gagah dengan jas pengantin berwarna putih.
Semua
undangan sepertinya telah datang, tetapi aku masih belum nampak seseorang yang
ku nantikan kehadirannya.
Aku memandang Mas Alfath, sepintas
melintas di benakku wajah Mas Fahmi. Teringat akan sebuah janji yang dulu
pernah terucap. Tapi segera kubuang jauh-jauh bayangan itu. Aku tak boleh
mengingat hal itu lagi. Tapi… Aku masih menunggu Mas Fahmi. Ya, Aku menunggumu
di masjid Al Akbar seperti janji kita dulu. Aku menunggumu untuk sebuah
pertemuan suci antara dua insan. Seperti katamu dulu. Meski bukan denganmu kini
ku bersanding. Meski bukan denganmu ku wujudkan impianku mengarungi bahtera
kehidupan, tapi pada kenyataannya janji kita tetap terwujud indah pada
waktunya, pada takdirnya masing-masing. Sekarang Mas Alfath adalah masa
depanku. kepadanya ku akan mengabdikan diri sebagai seorang istri sholehah.
Kepadanya kan ku semaikan kesetiaan cinta karena Allah yang tak kan pudar.
Tak lama kemudian, sesosok wajah
yang ku nantikan hadir bersama seorang wanita cantik yang memeluk dengan penuh
kasih sayang seorang bayi mungil di gendongannya. Mas Fahmi. Aku tersenyum, dia
pun tersenyum. Nampak ada raut kebanggaan di wajahnya yang seolah berkata.
“Semoga kamu bahagia selamanya.”
Lampiran:
NASKAH DRAMA KU
MENUNGGUMU DI AL-AKBAR
Pada suatu malam Kirana sedang
berada di jendela kamar sedang menatap megahnya mesjid Al-Akbar disertai
suasana hujan-hujan kecil. Tiba-tiba ia teringat sebuah janji bersama seorang
pria yang diidamkannya dia bernama Mas Fahmi. Lalu keesokan harinya mereka
bertemu.
Mas Fahmi :
“Ran, aku jadi pergi besok.”
Kirana : “Mas benar-benar akan ke Jakarta?
Hmmh, kenapa harus jauh sekali?”
Mas Fahmi :
“Iya, memang jauh. Aku gak enak nolak tawaran pekerjaan itu. Apalagi aku memang
sedang sangat membutuhkannya.”
Kirana : “Ya, kalau itu memang
sudah jadi pilihan Mas Fahmi, jalani aja. Ran pasti akan selalu doakan di
sini.”
Mas Fahmi :
“Makasih ya Ran. Nanti kalau Mas sudah sukses, Mas mau kasih hadiah buat Ran.”
Kirana : “Hem? Hadiah? Kenapa gak sekarang
aja? kenapa harus tunggu sukses dulu? Emang hadiahnya mahal?”
Mas Fahmi :“Iya,
bahkan.. tidak ternilai harganya?”
Kirana : “Apa?” (Fahmi kembali memandang kirana sambil
tersenyum).
Mas Fahmi : “Biar Al Akbar yang menjadi saksinya
nanti dalam sebuah pertemuan suci antara dua insan.”
(kirana tersenyum malu. Jantungnya berdegup
cepat, wajahnya memerah.)
Kirana : “InsyaAllah. Semoga Allah memberi
jalan terindah buat kita. Aku akan menunggumu di Masjid Al Akbar.”
Sejak
pertemuan itu kirana dan Mas Fahmi tidak pernah bertemu lagi. Satu tahun, Dua tahun,
tidak terasa sudah hampir empat tahun berlalalu. Selama itu, hanya
dunia maya penghubung antara mereka. Sudah tiga tahun terakhir ia
jarang pulang ke Surabaya. Bahkan di hari lebaran, ia hanya tinggal paling lama
dua hari saja. Terakhir ia pulang, karena ibundanya yang tiba-tiba jatuh sakit.
Ia menelpon Kirana dan minta
maaf padanya sebab tak sempat menemuinya karena ia harus buru-buru kembali ke
Jakarta.
Semakn
lama… Kirana semakin merasa kehilangan dirinya. Ada perasaan yang tidak enak
Mungkin karena terlalu cemas. Tiba-tiba kirana teringat sebuah e-mail, dia membukanya
namun tidak ada kabar dari Fahmi,
beberapa kali ia membukanya bahkan sampai ke sepuluh kali, akhirnya ada kiriman
yang datang dan itu dari Mas Fahmi.
Kirana : “Subhanallah!!!” (kirana
terbelalak hampir saja ia melompat kegirangan. Tiba-tiba ia melihat ada nama
Fahmi di daftar inboxnya). Ya Allah, akhirnya..
Mas Fahmi : “Salamu’alaikum wr.wb.
Kirana..
Mas minta maaf karena baru bisa balas e-mail kamu. Mas juga minta maaf karena tidak
pernah menghubungi Ran lagi. Alhamdulillah, keadaan Mas baik-baik aja. Ran,
besok pagi Mas mau ketemu sama kamu. Ada yang mau Mas katakan. Bisa kan? di
Taman Flora dekat kampusmu, jamnya kamu yang tentukan saja. Mas tunggu balasannya.
Kirana :
Wassalamu’alaikum”
(Jantung Kirana berdebar-debar berbagai
prasangka berkecamuk dalam dada.)
“wa’alaikumsalam.
Iya Mas, tidak apa-apa. Ran mengerti kalau mas sibuk sekali. Alhamdulillah,
keadaan Mas Fahmi baik-baik saja. Ran sempat khawatir terjadi apa-apa sama Mas Fahmi. Ya sudah, besok kita ketemu jam 10 ya.”
(Keesokan
harinya Kirana dan Mas Fahmi bertemu di suatu tempat yang dijanjikannya. Namun setelah Mas
Fahmi datang, ia terdiam menatap Kirana, agak lama. Terlihat ada mendung yang
menutupi matanya yang teduh).
Kirana : “Ada apa Mas? Katanya ada yang mau
disampaikan sama Ran?”
Mas Fahmi :
“Ehmm… Iya Ran.. Sebelumnya, Mas minta maaf. Mas mau Ran mendengarkan Mas cerita
sampai selesai ya. Setelah itu terserah
apa yang mau Ran lakukan ke mas Fahmi.”
Kirana : “Silahkan, Ran dengerin kok.”
Mas Fahmi : “Ibu Mas.. tiap kali Mas pulang selalu
menyuruh Mas untuk cepat menikah agar Ibu bisa melihat Mas di pelaminan.”
(Deg!
Sejenak kirana merasa tersentak mendengar hal itu jantungnya serasa berhenti berdetak).
“Mas sudah berencana untuk segera mengenalkan
Ran pada Ibu.”
(Swiinggg!!
Rasanya ribuan bunga mekar seketika di dalam hatiku).
Kirana : “Eeh, lalu?” (Kirana mulai tidak
sabar.)
“Tapi…”
“Tapi…?”
Mas Fahmi :
(Mas Fahmi terdiam lagi. kali ini agak lama dari sebelumnya. Ia menundukkan
sejenak. Lalu menatapku lagi dengan pandangan yang lebih sendu dari
sebelumnya). “T..tter.. ternyata… Ibu telah menjodohkan Mas dan ingin sekali
Mas menikah dengan gadis pilihan
Ibu.” (Katanya lirih dan terbata-bata).
“Mas ingin sekali menolaknya jika saja Mas
bisa. Mas sudah berusaha menjelaskan pada Ibu, kalau Mas sudah punya pilihan
lain bahkan Mas sempat bersitegang dengan Ibu. Tapi Ibu tetap tidak mau tahu.
Ibu malah sedih dan akhirnya jatuh sakit sampai-sampai terkena stroke. Ibu
terbaring lemah di rumah sakit, bahkan menolak untuk bertemu dengan Mas. Ibu
tidak punya semangat hidup lagi karena anak satu-satunya tidak mau mewujudkan
keinginannya. Mas tidak tega Ran. Akhirnya, seminggu yang lalu Mas telah
bertunangan dengan gadis itu.”
Kirana : (Kiran terkejut, Ia tak bisa lagi
membendung air matanya yang mulai meluap dan tumpah).
“Kke.. Kenapa Mas baru cerita sama Ran?” (dia
mulai terisak.)
Mas Fahmi :
“Mas tidak tega Ran. Mas gak bisa melihat kamu sedih dan menangis seperti ini.
Mas takut melukai perasaan kamu. Mas bingung harus bagaimana menyampaikan semua
ini.”
Kirana : (Kiran berusaha membendung air mataku walau tak
berhasil.)
“Sss..
Sudahlah Mas.. Aku….”
Mas Fahmi :
“Maafin Mas ya Ran.”
(Kirana tidak bisa berkata lebih banyak lagi,
semakin dia melihatnya semakin dia ingin menjerit.
Ulu hatinya bagai tertusuk-tusuk pedang tajam. Merasa sakit! dia segera berdiri
dari tempat duduk Mas Fahmi dan ingin segera pergi).
Mas Fahmi :
“Ran mau kemana?”
Kirana : “Ran mau pulang Mas.
Wassalamu’alaikum.”
Mas Fahmi :
“Kirana…”
Tiba-tiba
Kirana pun pergi sambil menangis menuju rumahnya. Sesampai di rumah ia seolah
tidak percaya dengan perkataan Fahmi. Betapa tidak seorang laki-laki yang selama
ini ia impikan untuk jadi imam dalam
hidupnya kini harus bersama orang lain.
Kirana : (Sambil menangis penuh dengan rasa
kesal dan kecewa) Hancur sudah semua harapan bahagiaku. Cuma dia laki-laki yang
aku cintai dan aku impikan tuk jadi
imamku. Selama dalam masa penantianku. Menanti janji manisnya untuk kami
wujudkan berdua. Tapi apa balasan atas kesetiaanku? Kenapa harus berakhir
seperti ini Ya Allah...
Apa salah hamba? Salahkah semua kesetiaan ini? Salahkah hamba mencintainya?
salahkah hamba mengharapkannya? Salahkah hamba menginginkan ia tuk jadi
pendamping hamba di kemudian hari?
Hidupku
bagai tak berharga lagi, kemanapun aku pergi bayangan tentangnya selalu mengikuti.
Tidak ada lagi semangat dalam hidupku. Aku bagai bunga yang kering menunggu
mati.
Tak
lama lagi adalah hari wisuda. Ku kira hari itu kan jadi hari bahagiaku karena
ia pasti kan hadir dan memberiku selamat, lalu akan ku kenalkan pada kedua
orangtuaku sebagai calon pendamping hidupku. Namun itu semua tinggallah mimpi
yang kini telah musnah jadi asap.
(Tiba-tiba mamanya datang dan meyakinkan
Kirana)
Mama
Kirana : Sudahlah nak, mama tahu kamu
sedang bersedih, Kamu harus yakin bahwa Allah telah mempersiapkan seseorang
yang seribu kali lebih baik dari Mas
Fahmi untukku.
Kirana : Kok mama bisa tahu kalau Kirana
lagi sedih?
Mama Kirana : “Kamu jangan kehilangan semangat
seperti ini Nak.” (Lanjut mama). “Allah selalu punya rencana istimewa buat
hamba-hambaNya yang istimewa, dan Kamulah salah satunya. Percaya sama Allah,
Sayang. Allah akan memberikan yang terbaik buat kamu. Mungkin ini ujian dari
Allah, dan jangan lupa jika Allah menguji seorang hambaNya berarti Allah sayang
sama dia karena Allah ingin ia jadi lebih mulia. Kamu yang sabar ya, yang
ikhlas.”
Kirana : Ya Allah, mama benar. Aku harus
bisa melanjutkan hidupku. (Kirana pun mulai tenang dalam belaian hangat mamanya).
Akhirnya
setahun sudah waktu berlalu. semakin menapaki hari, semakin tahu bahwa tak sepantasnya Kirana menyesali
apa yang terjadi. Walaupun sampai saat ini, Kirana masih belum bisa sepenuhnya
melupakan Fahmi. Sulit memang melupakan orang yang sangat dicintainya. Tapi Kirana percaya, sesuatu
yang sulit bukan berarti tidak bisa untuk dilakukan.
Tak
disangka ada kejutan istimewa untuk kirana, papanya mengenalkan dia dengan seorang
pemuda yang baik, santun dan InsyaAllah punya pemahaman agama yang lumayan baik.
Saat Pemuda itu datang melamarnya, tidak ada alasan bagi Kirana untuk menolaknya, karena ia
sama-sama menyukainya.
Mas Alfah : “Dik Kirana, ingin akad nikah kita
nanti dilaksanakan dimana?” (tanya Mas Alfath saat rapat keluarga untuk
mempersiapkan hari pernikahannya).
Kirana : “Di Masjid Al Akbar.” (jawab sambil tersenyum).
Akhirnya
mereka menikah dengan Mas Alfah di mesjid
Al akbar. Sekarang Mas Alfath
adalah masa depannya. Kepada suaminya Kirana akan
mengabdikan diri sebagai seorang istri sholehah. Kepadanya ia semaikan
kesetiaan cinta karena Allah yang tidak akan pudar.
Tak
lama kemudian, sesosok wajah yang dinantikan hadir bersama seorang wanita
cantik yang memeluk dengan penuh kasih sayang seorang bayi mungil di
gendongannya. Ternyata Mas Fahmi. Kirana tersenyum, dia pun tersenyum. Nampak
ada raut kebanggaan di wajahnya yang seolah berkata.
“Semoga kamu bahagia selamanya.”
0 komentar